Antropologi,
khususnya Antropologi Budaya yang oleh Koentjaraningrat (1990:11-12) dikatakan
sebagai pengganti ilmu budaya merupakan studi tentang manusia dengan
kebudayaannya. Sudut pandang antropologi terhaadap perspektif global terarah
pada keberadaan dan perkembangan budaya dengan kebudayaan dalam konteks global yang
artinya mengamati , menghayati,dan memprediksi perkembangan kebudayaan secara
menyeluruh yang aspek serta unsur-unsurnya itu berkaitan satu sama lain
terintegrasi dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan perkembangannya antropologi
mengalami perubahan-perubahan yang tidak dapat diprediksi. Hal ini sejalan
dengan pengukuhan dari Prof. Laksono yang berasal dari universitas ternama ini.
Pengukuhan Prof. Laksono:
Antropologi Dituntut Bekerja pada Isu-Isu Praktis
Peta jalan antropologi sesungguhnya berasal dari kepedulian
Prof. Koentjaraningrat, seorang maestro antropologi Indonesia. Prof.
Koentjaraningrat sangat besar perhatiannya dalam mengembangkan antropologi
domestik Indonesia, antropologi yang mampu memecahkan masalah-masalah besar nasional.
Menurut Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., jalan yang dipaparkan
memang terbatas pada isu identitas budaya, yang mencakup isu integrasi nasional
dan perubahan sosial-budaya. “Memang hingga sekarang soal ini masih tetap
krusial. Apalagi dengan terjadinya interkoneksi antara komunitas-komunitas
tempatan kita dengan dunia akibat globalisasi kapital,” ujarnya, Selasa
(27/10), di Balai Senat saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu
Budaya UGM.
Dalam pidato berjudul “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad
Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital”,
Laksono memaparkan pendekatan yang kemudian ditawarkan ialah melalui ranah
kognitif dan simbolik dengan cara-cara yang reflektif parsipatoris. Dengan
demikian, antropologi Indonesia pada abad XXI dituntut bekerja pada isu-isu
praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, bersama dengan warga
komunitasnya berupaya pula mengembangkan penelitian untuk mengidentifikasi
masalah di sekelilingnya, sekaligus mengidentifikasi diri masyarakat dan
antropolog. “Dalam hal ini antropologi ikut bersama masyarakat, berpolitik
membangun sejarah baru,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 6 April 1953 ini.
Suami Yuliana Widyati Nuraini ini juga mengatakan posisi
antropologi tidak bebas nilai. Antropologi menjadi ilmu yang terlibat dalam
proses-proses sosial-budaya di masyarakat. Oleh karena itu, dari berbagai
pengalaman, antropologi sebaiknya tetap fokus pada isu strategis yang berkaitan
dengan ontologi identitas budaya, yakni pada proses bagaimana kesadaran diri
yang dialektis menyandarkan pada rantai komunikasi yang jumbuh. “Antara 'saya'
dan 'kamu' yang saling memberi pengakuan nyata,” tutur ayah tiga anak ini.
Melalui pemetaan, lanjut Laksono, memperjelas betapa
kompleks tantangan antropologi pada masa-masa yang akan datang. Bahkan, dapat
disaksikan betapa komunitas-komunitas tempatan di garis depan globalisasi terus
mendapat tekanan dari modal, yang secara terus menerus mengapresiasi
sumber-sumber alam.
Berdasarkan
artikel diatas dapat disimpulkan bahwa antropologi akan terus berkembang sampai
sekarang pada akhirnya berada pada masa globalisasi ini. Pada dasarnya
antropologi tidak terbebas dari suatu nilai akan tetapi dengan globalisasi yang
menganggap dunia tanpa batas akan sangat berpengaruh. Disisi lain perspektif
global jika dikaitkan dengan antropologi mempunyai dampak positif bagi kekayaan
khasanah budaya suatu bangsa serta globalisasi juga dapat mempercepat perubahan pola kehidupan
bangsa. Misalnya melahirkan pranata-pranata atau lembaga-lembaga sosial baru
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi dan pasar modal.
Perkembangan pakaian, seni dan ilmu pengetahuan turut meramaikan kehidupan
bermasyarakat.
Akan tetapi
tidak bisa dipungkiri dalam
bidang sosial dan budaya menimbulkan dampak negatif dari globalisasi antara lain adalah
meningkatnya individualisme, perubahan pada pola kerja,terjadinya pergeseran
nilai kehidupan dalam masyarakat. Saat ini di kalangan generasi muda banyak
yang seperti kehilangan jati dirinya. Mereka berlomba-lomba meniru gaya hidup ala Barat yang tidak
cocok jika diterapkan di Indonesia, seperti berganti-ganti pasangan, konsumtif
dan hedonisme tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di negara
kita. Untuk itu sebagai generasi muda penerus bangsa kita harusmenyadaari
keberadaan nilai yang masih belaku di negara kita. Kita harus pandai di dalam menyeleksi budaya asing
yang masuk ke dalam negara kita. Jika budaya asing tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsa kita yang berdasarkan Pancasila, kita berusaha bersifat
terbuka dalam menerima dkebudayaan tersebut. Akan tetapi jika tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa kita harus bersuara lantang untuk menolaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar