welcome

istana pijakan pena
be a real

Sabtu, 26 November 2011

PERSPEKTIF GLOBAL DARI VISI ANTROPOLOGI BESERTA DAMPAKNYA



Antropologi, khususnya Antropologi Budaya yang oleh Koentjaraningrat (1990:11-12) dikatakan sebagai pengganti ilmu budaya merupakan studi tentang manusia dengan kebudayaannya. Sudut pandang antropologi terhaadap perspektif global terarah pada keberadaan dan perkembangan budaya dengan kebudayaan dalam konteks global yang artinya mengamati , menghayati,dan memprediksi perkembangan kebudayaan secara menyeluruh yang aspek serta unsur-unsurnya itu berkaitan satu sama lain terintegrasi dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan perkembangannya antropologi mengalami perubahan-perubahan yang tidak dapat diprediksi. Hal ini sejalan dengan pengukuhan dari Prof. Laksono yang berasal dari universitas ternama ini.
Pengukuhan Prof. Laksono: Antropologi Dituntut Bekerja pada Isu-Isu Praktis
Peta jalan antropologi sesungguhnya berasal dari kepedulian Prof. Koentjaraningrat, seorang maestro antropologi Indonesia. Prof. Koentjaraningrat sangat besar perhatiannya dalam mengembangkan antropologi domestik Indonesia, antropologi yang mampu memecahkan masalah-masalah besar nasional.
Menurut Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., jalan yang dipaparkan memang terbatas pada isu identitas budaya, yang mencakup isu integrasi nasional dan perubahan sosial-budaya. “Memang hingga sekarang soal ini masih tetap krusial. Apalagi dengan terjadinya interkoneksi antara komunitas-komunitas tempatan kita dengan dunia akibat globalisasi kapital,” ujarnya, Selasa (27/10), di Balai Senat saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Dalam pidato berjudul “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital”, Laksono memaparkan pendekatan yang kemudian ditawarkan ialah melalui ranah kognitif dan simbolik dengan cara-cara yang reflektif parsipatoris. Dengan demikian, antropologi Indonesia pada abad XXI dituntut bekerja pada isu-isu praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, bersama dengan warga komunitasnya berupaya pula mengembangkan penelitian untuk mengidentifikasi masalah di sekelilingnya, sekaligus mengidentifikasi diri masyarakat dan antropolog. “Dalam hal ini antropologi ikut bersama masyarakat, berpolitik membangun sejarah baru,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 6 April 1953 ini.
Suami Yuliana Widyati Nuraini ini juga mengatakan posisi antropologi tidak bebas nilai. Antropologi menjadi ilmu yang terlibat dalam proses-proses sosial-budaya di masyarakat. Oleh karena itu, dari berbagai pengalaman, antropologi sebaiknya tetap fokus pada isu strategis yang berkaitan dengan ontologi identitas budaya, yakni pada proses bagaimana kesadaran diri yang dialektis menyandarkan pada rantai komunikasi yang jumbuh. “Antara 'saya' dan 'kamu' yang saling memberi pengakuan nyata,” tutur ayah tiga anak ini.
Melalui pemetaan, lanjut Laksono, memperjelas betapa kompleks tantangan antropologi pada masa-masa yang akan datang. Bahkan, dapat disaksikan betapa komunitas-komunitas tempatan di garis depan globalisasi terus mendapat tekanan dari modal, yang secara terus menerus mengapresiasi sumber-sumber alam.
Berdasarkan artikel diatas dapat disimpulkan bahwa antropologi akan terus berkembang sampai sekarang pada akhirnya berada pada masa globalisasi ini. Pada dasarnya antropologi tidak terbebas dari suatu nilai akan tetapi dengan globalisasi yang menganggap dunia tanpa batas akan sangat berpengaruh. Disisi lain perspektif global jika dikaitkan dengan antropologi mempunyai dampak positif bagi kekayaan khasanah budaya suatu bangsa serta globalisasi juga dapat mempercepat perubahan pola kehidupan bangsa. Misalnya melahirkan pranata-pranata atau lembaga-lembaga sosial baru seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi dan pasar modal. Perkembangan pakaian, seni dan ilmu pengetahuan turut meramaikan kehidupan bermasyarakat.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri dalam bidang sosial dan budaya menimbulkan dampak negatif dari globalisasi antara lain adalah meningkatnya individualisme, perubahan pada pola kerja,terjadinya pergeseran nilai kehidupan dalam masyarakat. Saat ini di kalangan generasi muda banyak yang seperti kehilangan jati dirinya. Mereka berlomba-lomba meniru gaya hidup ala Barat yang tidak cocok jika diterapkan di Indonesia, seperti berganti-ganti pasangan, konsumtif dan hedonisme tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di negara kita. Untuk itu sebagai generasi muda penerus bangsa kita harusmenyadaari keberadaan nilai yang masih belaku di negara kita. Kita  harus pandai di dalam menyeleksi budaya asing yang masuk ke dalam negara kita. Jika budaya asing tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa kita yang berdasarkan Pancasila, kita berusaha bersifat terbuka dalam menerima dkebudayaan tersebut. Akan tetapi jika tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita harus bersuara lantang untuk menolaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar